Saturday, October 2

Menulislah...

Pertama kali menulis
Waktu kecil, kelas 3 SD aku diberikan sebuah diary mungil oleh ibuku. Beliau mengatakan, “tulislah di sini apa yang kamu rasakan, yang tidak dapat kamu ceritakan kepada orang lain. tulislah dan itu akan membuatmu sedikit lebih tenang.”
Aku juga pernah menemukan diary ibuku, dulu sekali. Beliau tidak pernah lagi menulis. Beliau berhenti untuk menulis. Menuliskan ceritanya, menuliskan perasaannya. Menuliskan cerita hatinya. Aku tidak tahu kenapa beliau berhenti untuk menulis.
Aku juga pernah mengalami hal itu, tujuh tahun yang lalu. Saat diary ku diberikan kepada orang yang salah. Saat jeritan hatiku diserahkan kepada orang yang tidak berkepentingan. Sejatinya itu adalah ceritaku yang tidak ingin aku bagikan kepada siapapun. Salah satu zona privacy ku yang paling dalam diintip oleh orang yang tidak ku inginkan. Aku kehilangan kepercayaanku untuk menulis. Berhenti untuk menulis. Berhenti dalam sebuah kevakuman yang lama. Dan kehilangan tempat yang membuatku merasa menjadi diriku yang utuh.
Dengan menulis
Aku dapat bercerita dengan mudah. Menyeimbangkan logika, rasa dan kreatifitas. Tersenyum dalam diamku. Menangis tanpa air mata. Tertawa dalam kesunyian. Ribuan kata-kata ku hasilkan.
Menenangkan kegelisahanku. Menemukan sejatinya diriku. Menghapus kegundahanku. Menyatukan antara logika dan rasa.

Logika dan Rasa
Mereka berada di dua dunia yang berbeda. Logika mengatakan untuk melakukan A, sedang rasa mengatakan B. Aku di antara kebingunganku. Mana yang harus ikuti. Ketika aku mulai menuliskan logika ku, menceritakan A dengan baik. menjelaskan B dengan baik. ternyata aku menemukan celah di antara keduanya. Memaafkan diriku, bersikap lembut terhadap diriku, dan melakukan yang tidak menyakiti A ataupun B. Keduanya mempunyai kedudukan yang sama penting untuk diriku. A dan B tidak salah. A dan B saling mempengaruhi satu sama lain. walau mereka berada di kutub yang berseberangan. Walau mereka tidak dapat dipertemukan. Aku membuatkan jembatan untuk mereka di dalam tulisanku.
Teruslah menulis
Jangan berhenti untuk terus menulis. Jangan fikirkan tulisan itu berbobot atau tidak. Jangan perdulikan orang lain akan menyukai atau tidak. Jangan fikirkan itu menginspirasikan orang lain. jangan pikirkan yang lain. tulislah. Luahkan apa yang ada dibenakmu. Luahkan apa yang ada di hatimu.
Gemuruh dan badai yang ada di dalam sana, tidak mudah untuk diredakan. Kadang badai itu kecil, dengan tiga tarikan nafas dalam ia akan berhenti. Kadang badai itu tidak terlalu besar, dengan meditasi ia akan reda. Kadang badai itu tak terbendung, menghancurkan tiap bangunan tanpa terkecuali, meratakan setiap benda yang ditemuinya. Bernafas dalam tak membantu, meditasi tidak meredakannya, menulislah.
Menulislah dengan hatimu, menulislah dengan pikiranmu, menulislah dengan dirimu apa adanya. Suara itu akan terdengar, mengalun lembut dan menyentuh setiap hati. Menyentuh setiap jiwa.

Dan...
Jangan biarkan setiap kejadian menghentikanmu. Jangan biarkan orang lain menghentikanmu. Jadilah tanpa batas dalam mengekspresikan perasaanmu. Mengekpresikan pemikiranmu. Jangan biarkan mereka menghambat langkahmu, membendungmu, dan membekukanmu.

Tulisanku dan aku
Sejatinya, kalian akan melihatku tanpa menatapku langsung. Kalian akan merasakan kehadiranku walau ragaku tidak ada di depanmu. Kalian dapat mengenalku tanpa mengetahui bentuk parasku. Kalian dapat mengetahui hatiku, tanpa kalian pernah menjadi temanku sebelumnya. Dalam tulisanku.
Aku tidak menuliskan ini untukmu. Aku tidak menuliskan ini untuknya. Aku tidak menuliskan ini untuk mereka. Aku hanya menuliskan ini untuk diriku. Pembaca tulisan ini yang berada diurutan teratas adalah diriku sendiri. Aku bercermin dan menatap diriku lebih dalam. Terinsipirasi oleh diriku sendiri.
Setiap kejadian dalam kehidupan ini, rush in your mind, membuat kamu tidak mengenal dirimu. Melupakan sejatinya dirimu. Melupakan kelembutanmu. Melupakan nilai-nilai luhur yang kamu pegang. Melupakanmu untuk menyayangi dirimu. Hanya nafsu yang membelenggu.
Aku tidak ingin seperti kalian, aku tidak ingin menjadi sepertimu, aku tidak ingin menjadi sepertinya. Aku hanya ingin menjadi diriku. Mengenal diriku lebih baik. Menyembuhkan lukaku. Menyayangi diriku. Tidak lebih....

Gurindam Dua Belas
(Pasal I)
... Barang siapa mengenal diri,
Maka telah mengenal Tuhan yang Bahri...

Terbesit suatu kebanggaan aku dibesarkan di Tanah Melayu. Di negeri yang menjadi asal Gurindam Dua Belas ini berasal. Tidak ada satupun karya sastra Indonesia lainnya yang menyamainya. Gurindam. Hanya satu, yaitu Gurindam Dua Belas. Gubahan Raja Ali Haji, sastrawan Melayu. Walau aku tidak dilahirkan di sini. Walau aku hanya mendapatkan sedikit darah Melayu. Aku bangga menjadi bagian dari Masyarakat Kepulauan Riau. Kota Tanjungpinang, sebagai Negeri Pantun. Aku sendiri kurang fasih, bahkan tidak bisa berpantun.
Penggalan Gurindam Dua Belas Pasal Pertama ini erat kaitannya dengan mengenal diri. Erat kaitan dengan tulisanku ini. Setiap orang mengenal dirinya dengan cara yang berbeda. Dan inilah caraku untuk mengenal diriku. Dengan menulis. Puncak di atas semuanya ketika aku mengenal diriku dengan baik adalah aku mengenal Tuhanku, Allah Swt.

Diary kecilku
Dia ada di sana. Di dalam koper merahku. Bersama saudara-saudaranya. Bersama barang-barang bersejarahku. Bersama koleksi-koleksi sabun wangiku. Sudah mulai menguning dimakan zaman. Terlelap dalam kedamaian.
Sampai detik ini aku masih bisa melihatnya. Bertemu dengan masa kecilku. Senia kecil, Senia ABG, Senia yang selalu optimis tanpa ketakutan. Dan tersenyum, tertawa bersama dalam keheningan.
26 September 2010

No comments: